Pemerintah Komisaris Jenderal Belanda
Pemerintahaan Komisaris Jenderal Belanda ( 1816-1942 )
Pemerintah Gubernur Jendral Van Der Capellen ( 1816-1826 )
Melalui Konvensi London ( 1815 ) yaitu perjanjian antara pemerintah Inggris dengan Pemerintah Belanda yng berisi pengembalian hak Belanda atas koloni-koloninya termasuk Nusantara. Setelah menerima penyerahaan dari pemerintah
Inggris, diangkatlah Van Der Capellen sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda
( Indonesia ). Pemerintahaan Van Der Capellen menghadapi persoalan kebijakan
politik ekonomi, seperti apakah kebijakan yang harus diterapkan di Hindia
Belanda agar dapat mengisi kas negara Belanda yang kosong akibat sering dilakukanya perang baik di Hindia Belanda maupun di Belanda sendiri. maka terjadi perdebatan mengenai kebijakan politik ekonomi yang tepat
diterapkan di Hindia Belanda ( Indonesia ). Perdebatan terjadi antara kubu
liberal dan kubu konservatif, kubu liberal meyakini bahwa pihak swasta akan
memberikan keuntungan yang besar kepada negara Induk, sedangkan kubu konservatif beranggapan bawah keuntungan akan
diperoleh sangat besar jika dikelola langsung oleh pemerintah kolonial Belanda
tanpa ada campur tangan Swasta. Menghadapi perdebatan antara dua kubu, Van Der
Capellen selaku gubernur Jenderal Hindia Belanda mengambil jalan tengah. Kebijakan
politik ekonomi apapun yang diterapkan nantinya harus dapat memberikan
keuntungan sebesar-besarnya bagi Belanda sebagai negara Induk. Di satu pihak Van Der Capellen tetap berusaha
menangani penggalian kekayaan tanah jajahan bagi keuntungan negara induk, di
lain pihak berusaha mencari jalan untuk melaksanakan dasar-dasar kebebasan.
Kebijakan politik campuran ini berlangsung dari tahun 1819 -1830. Sekitar tahun 1830an, kebijakan politik ekonomi
pemerintah komisaris jenderal mulai bergeser ke arah konservaatif, kebijakan
politik ekonomi liberal lama-lama mulai ditinggalkan karena baik negara induk
maupun pemerintah komisaris Jenderal di Hindia Belanda mulai mengalami defisit
anggaran akibat seringnya melaksankan perang baik di Eropa maupun di Hindia
Belanda. Defisit anggaran ini semakin parah ketika masa gubernur Jenderal Van
Den Bosch, dimana pada masanya Negara Induk sedang berperang melawan Belgia dan
di Hindia Belanda sendiri sedang terjadi perang Diponegoro 1825-1830 dan perang
Paderi di Sumatera Barat 1821-1837.
Sistem Tanam Paksa ( 1830-1870 )
Belajar dari kegagalan kebijakan politik liberal pada awal pemerintah Belanda dan untuk menyelamatkan negara induk dan pemerintah Hindia Belanda dari kebangkrutan akibat perang yang dilakukan Belanda yaitu Perang Jawa, Perang Paderi , maka di kirim lah Johanes Van Den Bosch sebagai gubernur Jendral yang baru yang memiliki kewajiban memperoleh dana untuk mengisi kekosongan kas negara Belanda. untuk melaksanakan kewajibanya Van den Bosch menerapkan ide kebijakan untuk mengisi kekosongan kas negara Belanda melalui penanaman tanaman yang berkualitas ekspor agar laku dipasaran dunia. kebijakan ini disebut dengan sistem tanam paksa ( Culture Stelsel ) di mulai 1830 sampai dengan 1870 dalam waktu yang yang singkat. Bertujuan untuk memperoleh pendapatan sebanyak mungkin bagi pemerintah komisaris Jendral Hindia Belanda dalam waktu relatif singkat. Pemerintah mengerahkan tenaga rakyat dan tanah petani untuk mengusahakan penenaman tanaman dengan kualitas ekspor seperti teh, kopi, tembakau dan lada. Sistem tanam paksa ini memiliki aturan-aturan pokok yang awalnya tidak memberatkan rakyat, seperti :
1. Tanah petani 1/5 akan ditanami tanaman ekspor
2. Hasil pertanian dijual kepada pemerintah Belanda dengan harga yang ditentukan
3. Tanah yang ditanami tanaman ekspor bebas pajak
4. Petani bekerja selama waktu menanam padi
5. Rakyat yang tidak memiliki tanah, harus bekerja selama 65 hari
6. Kerusakan tanaman akibat alam ditanggung pemerintah
Dalam pelaksanaanya, sistem tanam paksa ini, banyak sekali mengalami penyimpangan-penyimpangan yang akhirnya sangat memberatkan rakyat pribumi. penyimpangan ini terjadi karena adanya cultuurprocenten yaitu hadiah yang diberikan kepada pengawas tanam paksa yang menyetor lebih dari ketentuan akan mendapatkan hadiah. Penyimpangan-penyimpangan ini terjadi pada aturan-aturan pokok sistem tanam paksa, seperti : tanah 1/5 yang diambil merupakan tanah yang paling subur, waktu kerja lebih lama untuk yang tidak memiliki tanah yaitu selama 165 hari, lahan yang digunakan untuk menaman tanaman ekspor wajib bayar pajak, kegagalan panen tanggung jawab petani.
1. Tanah petani 1/5 akan ditanami tanaman ekspor
2. Hasil pertanian dijual kepada pemerintah Belanda dengan harga yang ditentukan
3. Tanah yang ditanami tanaman ekspor bebas pajak
4. Petani bekerja selama waktu menanam padi
5. Rakyat yang tidak memiliki tanah, harus bekerja selama 65 hari
6. Kerusakan tanaman akibat alam ditanggung pemerintah
Dalam pelaksanaanya, sistem tanam paksa ini, banyak sekali mengalami penyimpangan-penyimpangan yang akhirnya sangat memberatkan rakyat pribumi. penyimpangan ini terjadi karena adanya cultuurprocenten yaitu hadiah yang diberikan kepada pengawas tanam paksa yang menyetor lebih dari ketentuan akan mendapatkan hadiah. Penyimpangan-penyimpangan ini terjadi pada aturan-aturan pokok sistem tanam paksa, seperti : tanah 1/5 yang diambil merupakan tanah yang paling subur, waktu kerja lebih lama untuk yang tidak memiliki tanah yaitu selama 165 hari, lahan yang digunakan untuk menaman tanaman ekspor wajib bayar pajak, kegagalan panen tanggung jawab petani.
Komentar
Posting Komentar