Politik Etis
Politik Etis
Sistem tanam paksa yang dijalankan oleh Belanda di Hindia Belanda yang bertujuan untuk mengisi kekosongan kas negara dilakukan dengan berbagai macam cara dan banyak sekali penyimpangan yang terjadi pada sistem tanam paksa, yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan dikalangan pribumi. Berita penyimpangan ini mengundang kecaman dan rekasi yang cukup keras dari golongan liberal dan kamu humanis. Tokoh-tokoh dari kalangan liberal dan humanis yang memprotes antara lain :
1. Van Der Putte menulis buku yang berjudul Suiker Contarcten yang berisi tentang kekejaman yang diterima petani gula terjadi akibat dari tanam paksa dan juga menceritakan yang lebih realistis dalam mewujudkan pembangunan di Hindia Belanda dan di Belanda, yakni memberikan kepada swasta untuk ikut di dalam pembangunan ekonomi.
2. Edward Dowes Dekker menulis novel realis yang berjudul Max Havellar yang berisi keritikan terhadap Bupati lokal yang menindas rakyat Kab Lebak, penindasan ini terjadi akibat diberlakukanya hadiah bagi pejabat-pejabat pada sistem tanam.
Dua tokoh ini memberikan inspirasi kepada golongan liberal dan Humanis melakukan protes didepan Staten General (
Parlemen ). Kecaman ini banyak mengundang dukungan, sehingga Ratu Wilhelmina
menghapus sistem tanam paksa melalui tiga tahap yaitu penghapusan lada pada
tahun 1860, penghapusan teh dan tembakau pada tahun 1865 dan terakhir
pengapusan total semua jenis tanaman ekspor pada tahun 1870. Ratu Wilhelmina mengeluarkan undang-undang
agraris tahun 1870 dan pada 1901 mengeluarkan kebijakan balas budi yang diambil
dari trilogi Van Deventer. Van De Venter seorang ahli hukum Belanda dan kemudian menjadi tokoh politik etis. Politik etis atau politik balas budi merupakan pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah Belanda memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera.
Sebenarnya, banyak pihak yang menghubungkan kebijakan politik etis ini dengan tulisan-tulisan dan pemikiran van Deventer, salah satunya pada tulisan yang berjudul Een Eereschuld (Hutang Kehormatan) dimuat dalam harian De Gids tahun 1899. Kritikan tersebut berisi perlunya pemerintah Belanda membayar utang budi dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan. Kritik-kritik ini menjadi perhatian serius dari pemerintah kolonial Belanda dan membuat Ratu Wilhelmina memunculkan kebijakan baru bagi daerah jajahan, yang dikenal dengan politik etis. Kemudian terangkum dalam program Trilogi van Deventer. Kebijakan politik etis serta program Trias van Deventer diterapkan di Indonesia pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Alexander W.F. Idenburg (1909-1916). Trilogi van deventer terdiri dari tiga hal :
1. Irigasi ( Pengairan ) : membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
2. Edukasi ( Pendidikan ) : pribumi diperbolehkan mengeyam pendidikan yang didirikan oleh pemerintah Belanda seperti : HIS, MULO, HBS
3. Emigrasi ( Perpindahaan ) : mengirimkan tenaga kerja murah untuk dipekerjakan di wilayah Sumatera
Tetapi kebijakan politik balas budi ini
mengalami kegagalan, karena pada akhirnya semua kebijakan politik balas budi
ini dilakukan hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Seperti Pelaksanaan dalam pengairan (irigasi) hanya ditujukan
kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda, Pemerintah
Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan
tenaga administrasi yang cakap dan murah, Migrasi ke daerah luar Jawa
hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik
Belanda.
Komentar
Posting Komentar