Latar Belakang Politik Etis
Politik Etis adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial
Hindia Belanda sejak 17 September 1901. Politik Etis disebut pula sebagai
Politik Balas Budi. Politik Etis mengawali sejarah dimulainya era pergerakan
nasional di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Politik Etis bermula dari
kebijakan tanam paksa. Tahun 1830, Johannes van den Bosch yang merupakan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu, menetapkan kebijakan tanam paksa
atau cultuurstelsel. Ketika aturan ini berlaku, masyarakat Indonesia dipaksa
menanam komoditas ekspor demi kepentingan Belanda. Akan tetapi, banyak
penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan cultuurstelsel ini. Dampak yang
ditimbulkan amat sangat menyengsarakan rakyat.
Tujuan dan Tokoh Politik
Etis
Mulai muncul kritikan dan kecaman atas pelaksanaan tanam paksa, bahkan
dari kalangan orang Belanda sendiri, sistem tanam paksa akhirnya dihentikan
pada 1863. Dengan
banyaknya penyimpangan yang dilakukan pada pelaksanaan tanam paksa, ada beberapa tokoh liberal yang menentang sistem tanam paksa.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887)
Ia adalah mantan asisten residen di Lebak (Banten) sehingga sangat
mengetahui penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah di bawah
sistem tanam paksa. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang
kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia
melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam
paksa.
Eduard Douwes Dekker Buku yang di hasilkan
Fransen van der Putte (1822-1902)
Ia menunjukkan sikapnya terhadap kebijakan tanam paksa dalam bukunya
berjudul Sulker Constracten, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti
"Kontrak Gula." Ia bersama dengan Douwes Dekker merupakan tokoh
penentang tanam paksa dari golongan liberal.
Buku Karya Fransen van der Putte
Fransen van der Putte
Aktivis
dari Belanda lainnya adalah Pieter
Brooshooft dan C. Th. van Deventer memprakarsai digagasnya Politik Etis sebagai
bentuk balas budi kepada rakyat Indonesia. Van Deventer pertama kali
mengungkapkan perihal Politik Etis melalui majalah De Gids pada 1899.
Kritikan tersebut berisi perlunya pemerintah Belanda membayar utang budi
dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan. Kritik-kritik ini
menjadi perhatian serius dari pemerintah kolonial Belanda dan membuat Ratu
Wilhelmina memunculkan kebijakan baru bagi daerah jajahan, yang dikenal dengan
politik etis. Kemudian terangkum dalam program Trias van Deventer.
Trilogi Van Deventer
Ternyata, desakan terkait ini diiterima oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Sejak 17 September 1901. Kebijakan politik etis serta program Trias van
Deventer diterapkan di Indonesia pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal
Alexander W.F. Idenburg (1909-1916). Isi
Politik Etis Politik Etis berfokus kepada desentralisasi politik, kesejahteraan
rakyat, dan efisiensi. Terkait isinya, terdapat tiga program utama, yakni
irigasi, edukasi, dan emigrasi.
Irigasi Dalam program ini, pemerintah Hindia Belanda melakukan
pembangunan fasilitas untuk menunjang kesejahteraan rakyat. Sarana dan
prasarana untuk menyokong aktivitas pertanian serta perkebunan diberikan,
meliputi pembuatan waduk, perbaikan sanitasi, jalur transportasi pengangkut
hasil tani, dan lainnya.
Edukasi Melalui program edukasi, peningkatan kualitas sumber daya
manusia (SDM) dan upaya mengurangi angka buta huruf masyarakat dilakukan. Selain itu, mulai dilaksanakan pengadaan sekolah-sekolah
untuk rakyat. Akan tetapi, berdasarkan penjelasan Suhartono dalam Sejarah
Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945 (2001:7), hanya
laki-laki saja yang boleh mengenyam pendidikan kolonial kala itu, sedangkan
perempuan belajar di rumah.
Emigrasi Program emigrasi diterapkan dalam rangka meratakan kepadatan
penduduk di Hindia Belanda atau Indonesia. Pada 1900 saja, Jawa dan Madura
telah dihuni oleh 14 juta jiwa. Melalui kebijakan yang aktif mulai 1901 ini,
didirikan pemukiman-pemukiman baru di Sumatera yang disediakan untuk tempat
perpindahan rakyat dari wilayah padat penduduk.
Dampak
Politik Balas Budi
Awalnya,
kebijakan Politik Etis memang terlihat menguntungkan rakyat Indonesia. Akan
tetapi, dalam perjalanannya terjadi penyimpangan Politik Balas Budi yang
dilakukan oleh orang-orang Belanda.
Dampak Negatif
Dalam program irigasi, upaya pengairan yang ditujukan untuk aktivitas
pertanian tidak berjalan mulus. Air yang disalurkan ternyata hanya untuk
orang-orang Belanda, sedangkan kaum pribumi seakan dipersulit sehingga
menghambat kegiatan pertaniannya. Berikutnya, dalam program edukasi, pemerintah
kolonial Hindia Belanda ternyata punya niatan buruk. Mereka ingin memperoleh
tenaga kerja dengan kualitas SDM tinggi namun dengan upah rendah. Program
edukasi yang awalnya ditujukan untuk semua golongan, pada kenyataannya
didominasi oleh orang-orang kaya atau dari kalangan bangsawan saja sehingga
terjadi diskriminasi dalam hal pendidikan.
Dampak Positif
Meskipun terjadi penyelewengan yang menimbulkan dampak negatif, Politik
Etis setidaknya juga menghadirkan beberapa dampak positif bagi bangsa
Indonesia. Diterapkannya Politik Etis memicu lahirnya berbagai organisasi
pergerakan dan perhimpunan yang bersifat daerah maupun nasional di Indonesia.
Beberapa di antaranya adalah Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan
lain-lain. Program edukasi yang diberikan dalam Politik Etis melahirkan kaum
terpelajar dari kalangan pribumi. Mereka inilah yang kemudian mengawali era pergerakan nasional dengan mendirikan berbagai
organisasi yang berjuang melalui pemikiran, pengetahuan, hingga politik.
Jenis Pendidikan Pada Masa Politik Etis
Komentar
Posting Komentar