Sistem Tanam Paksa
Sistem Tanam Paksa
Latar Belakang
Pada tahun 1825-1830,
pemerintah Belanda hampir bangkrut setelah mengalami masa – masa perang yaitu
Perang Diponegoro di Jawa dan perang – perang di Eropa diantaranya pemecahan
wilayah Belgia dari negara Belanda
Raja William I
s
Untuk menyelamatkan keadaan kas negara, Raja William I sudah berulang
kali meminta agar Jawa dijadikan sebagai sumber pemasukan negara. Berbagai
macam usulan dibicarakan, tapi tidak satupun dinilai bakal berhasil menutup
kerugian Belanda pascaperang. Raja William I pada 1828, memanggil Bosch.
Setelah ide sistem tanam paksa yang ia utarakan disetujui oleh raja, Bosch
ditunjuk jadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dengan tugas mengisi kas
kerajaan dari hasil eksploitasi tanah Jawa dengan cara memfokuskan menanam
tanama pada komoditas paling laku di dunia yaitu komoditi – komoditi ekspor
seperti kopi, tebu,tembakau, nila,teh.
Ilustrasi Perang Diponegoro
Penerapan Sistem Tanam Paksa merupakan salah satu upaya mengeruk
kekayaan dari tanah Hindia Timur (nusantara) dan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin bagi pemerintah
Belanda dalam waktu yang relatif singkat. Tanam
paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda.
Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC
karena ada tujuan pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan
pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada
VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga
yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan
sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal
Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan
mensejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi
gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Van Den Bosch
Pada bulan Januari 1830, Van Den Bosch tiba di Hindia Belanda dengan
membawa rancangan Sistem Tanam Paksa dan langsung diterapkan. Tujuan Van Den Bosch yang dijadikan Gubernur
Jenderal adalah “merubah pulau Jawa menjadi eksportir besar dari produk-produk
agraria (kopi, tebu dan nila
), dengan keuntungan dari penjualannya mengalir
hampir semua ke pemerintah Belanda. Tujuan Van Den Bosch dengan sistem
cultuurstelsel di Jawa itu adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang
menjadi permintaan di pasaran dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut Bosch
menganjurkan pembudidayaan berbagai produk seperti kopi, tebu dan nila. Tanam Paksa
sendiri diterapkan secara bertahap pada tahun 1830 hingga 1835. Tanam Paksa baru sepenuhnya berjalan di Jawa
pada tahun 1840. Adanya tanam paksa diawali dari anggapan pemerintah Belanda
yang menganggap pemerintah desa di Jawa memiliki hutang sewa tanah yaitu
sekitar 40% dari hasil utama desa. Selanjutnya, van den Bosch menerapkan
kewajiban penanaman komoditi ekspor pada 20% atau seperlima setiap tanah milik
warga serta kewajiban bekerja selama 75 hari bagi mereka yang tidak memiliki
tanah. Dengan menjalankan aturan ini, pemerintah desa akan mampu melunasi
hutang pajak tanah. Apabila pembayaran hutang melalui pajak tersebut melebihi
hutang yang harus dibayar, maka kelebihan tersebut akan diserahkan kepada desa,
namun jika kurang, desa wajib membayarnya dari sumber-sumber lain.
Kebijakan Sistem Tanam Paksa
Ada sejumlah aturan
utama dalam sistem tanam paksa. Beberapa aturan Sistem Tanam Paksa yang termuat
di dalam Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 Nomor 22 adalah sebagai
berikut:
Kebijakan Sisten Tanam Paksa
Dalam penyelenggaraan
cultuurstelsel pihak Belanda berusaha agar sedapat mungkin tidak berhubungan
langsung dengan petani. Dalam mengerjakan tanah-tanah untuk penanaman tanaman
dagang, penduduk desa diawasi oleh para pemimpin desa mereka, sedangkan
pegawai-pegawai Eropa hanya akan membatasi diri pada pengawasan apakah
pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik
dan tepat pada waktunya.
Perkebunan Tebu
Sebab itu
penyelenggaraannya diserahkan kepada para bupati dengan para kepala desa, dan
masyarakat desa sendiri. Kepentingan pemerintah hanya pada hasilnya, yang
dihitung dalam pikol (+ 62 kg) yang diterima oleh gudang-gudang pemerintah.
Selain itu penyelenggaraannya juga bervariasi dari satu tempat ke tempat lain
karena pemerintah pusat lebih banyak menyerahkan penguasannya kepada para
pejabat Belanda setempat (para kontrolir) yang mempunyai motivasi untuk
meningkatkan produksi karena mereka memperoleh “cultuurprocent” prosentase
tertentu dari hasil panen. Untuk itu sampai
tahun 1860 dikerahkan tidak kurang 90 orang kontrolir dan sekitar orang
pengawas berkebangsaan Belanda.
Tetapi dalam
pelaksanaanya, Tanam Paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan yang
ditetapkan. Penyimpangan tersebut terjadi karena penguasa lokal yang tergiur
dengan cultuur procenten. Cultuur procenten atau
prosenan tanaman adalah hadiah yang diberikan pemerintah kepada pelaksana tanam
paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang didapatkan setelah memberikan hasil
panen melebihi ketentuan yang telah ditetapkan.
Ilustrasi Kekejaman Sistem Tanam Paksa
Hal ini umumnya didorong oleh hasrat mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya dari masyarakat Indonesia saat itu. Beberapa pelanggaran dan
penyimpangan yang dilakukan terhadap aturan tanam paksa antara lain adalah :
Penyimpangan Sistem Tanam Paksa
Bagi orang Jawa, Cultuurstelsel sangat menyengsarakan
rakyat. Bahkan pernah terjadi bencana kelaparan yang hebat di Cirebon (1844), Demak
(1848) dan Grobogan (1849). Bencana kelaparan tersebut mengakibatkan tingkat kematian meningkat. Adanya bencana kelaparan mengundang reaksi baik dari
rakyat Indonesia sendiri maupun orang Belanda. Berbagai daerah kemudian
melakukan perlawanan secara sporadis dan tidak terorganisir. Dari pihak
Belanda, kaum liberal dan humanis menentang pelaksanaan Sistem Tanam Paksa.
Dampak Sistem Tanam Paksa
Akibat diberlakukannya sistem Tanam Paksa sangat
beragam, berikut adalah beberapa uraiannya. Akibat gagal panen, rakyat Indonesia menderita
kemiskinan yang berkepanjangan. Disisi lain, bagi Belanda, Sistem Tanam Paksa
merupakan ladang subur bagi kas Belanda. Lambat laun hutang Belanda dapat
ditutupi. Kas yang kosong mulai terpenuhi bahkan mengalami surplus.
Meskipun sangat menyengsarakan rakyat Indonesia, namun
ada sisi positif yang dapat diambil dari Tanam Paksa yang dilakukan Belanda,
diantaranya.
Dampak Sistem Tanam Paksa
Penghapusan Sistem Tanam Paksa
Banyaknya
tuntutan dari berbagai kalangan, pemerintah Belanda mulai terpojok dan mulai
memikirkan untuk melepaskan koloninya dari sistem Tanam Paksa. Disisi lain,
pemerintah Belanda sangat mengandalkan sistem Tanam Paksa guna memenuhi kasnya.
Maka dari itu, Belanda kemudian menghapuskan secara bertahap sistem tanam paksa
dimulai dari daerah – daerah yang kurang begitu berpengaruh. Di wilayah
Sumatera Barat, mulai tahun 1847, mulai lepas dari Tanam Paksa kopi. Pada tahun
1860, penanaman lada dihapus. Pada tahun 1865 penanaman nila dan teh dihapus.
Yang terakhir, pada tahun 1870 semua tanaman pada kebijakan tanam paksa dihapus
kecuali di wilayah Priangan.
Komentar
Posting Komentar